PERKAWINAN Nadia Madjid, putri Nurcholish Madjid, dengan David Bychkov,
29 September lalu di Washington, DC, Amerika Serikat, awalnya hanya
diketahui kalangan terbatas. Tapi, sejak majalah bulanan Media Dakwah memuatnya di Nomor 334, April lalu, berita itu merebak ke mana-mana. Judulnya pun cukup mencolok: "Putri Nurcholish dinikahkan dengan Yahudi". Bagi sebagian masyarakat muslim Indonesia, kata Yahudi terkesan begitu negatif lantaran selalu memusuhi Islam.
Tak
aneh bila reaksi cendekiawan muslim yang biasa dipanggil Cak Nur itu
cukup keras. Dalam surat yang dilayangkan Senin pekan lalu ke redaksi Media Dakwah,
Cak Nur membeberkan persoalan sebenarnya yang tak tertuang dalam berita
itu. Bukti surat elektronik yang bersifat pribadi kepada putrinya,
khotbah nikah, dan naskah ijab kabul juga disampaikannya.
"Saya punya kewajiban moral untuk menjelaskan semuanya," kata Cak Nur kepada GATRA. Sebab, proses perkawinan itu dinilai tak sah oleh Media Dakwah.
Misalnya, tata cara perkawinan dianggap tak mengikuti syariat Islam.
Bahkan, menantunya, David Bychkov, seorang Yahudi Amerika kelahiran
Rusia, dianggap belum muslim. Padahal, Islam melarang seorang wanita
muslim menikah dengan laki-laki nonmuslim.
Dalam laporan
khususnya, majalah yang didirikan para tokoh Masyumi, seperti Mohammad
Roem dan Mohammad Natsir pada 1976, itu seolah menggugat keislaman Cak
Nur. Dalam pandangan Media Dakwah, Cak Nur memimpin perkawinan
anaknya itu tak menggunakan tata cara Islam. Informasi ini, antara lain,
menurut majalah itu, didapat dari Syamsi Ali, seorang guru agama Islam
di New York, Amerika Serikat, yang diberitahu rekan-rekannya yang sempat
hadir dalam acara perkawinan tersebut.
Tulisan Media Dakwah itu memang tidak mendapat klarifikasi dari Cak Nur. Juga dari Abdul Nur Adnan, seorang penyiar Voice of America yang menjadi panitia pernikahan itu. Sumber utama yang mendukung cerita tersebut tidak ada. Kutipan wawancara Cak Nur dengan New York Times,
16 Maret lalu, yang menyatakan bahwa dia tak pernah bertanya soal
keimanan David, yang justru dijadikan alasan kuat untuk menulis berita
ini.
Apalagi, menurut Adian Husaini, salah seorang redaktur Media Dakwah,
informasi itu diperoleh dari sumber yang bisa dipercaya, tapi tak mau
dikutip namanya. Bahkan, kabarnya, menurut dia, dalam perkawinan itu tak
ada saksi sama sekali. Tentu saja, cerita ini berbeda dengan yang
dikemukakan Cak Nur. "Seluruh aturan syariat Islam dalam pernikahan itu
sudah terpenuhi," kata Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta,
ini.
Dalam urusan pernikahan, tokoh pembaharu Islam itu mengaku
lebih mengikuti mazhab tradisionalis yang dianut sebagian besar
masyarakat muslim Indonesia. Berdasar syariat Islam, pernikahan harus
ada ijab kabul, wali, mahar, dan saksi. Bahkan, menurut dia, acara
pernikahan itu seperti biasa diawali dengan khotbah nikah.
Toh,
Cak Nur tak menyembunyikan informasi bahwa proses menuju pernikahan itu
penuh masalah. Awalnya, ia tak menyetujui Nadia menikahi David yang
beragama Yahudi. Dalam surat-suratnya, Cak Nur menyebutnya sebagai
skandal. "Sembilan puluh sembilan persen dalam agama kita menghukumi
kamu kawin tidak sah, suatu dosa yang sangat besar, salah satu yang
terbesar dalam agama kita setelah syirik, durhaka pada orangtua,
membunuh, dan merusak alam," tulis Cak Nur dalam suratnya kepada Nadia,
13 Agustus 2001.
Malah, Cak Nur sempat mengancam putus hubungan keluarga dengan Nadia
kalau nasihatnya tak dipatuhi. Namun, akhirnya, dia bisa diyakinkan oleh
Nadia. Menurut putri Cak Nur satu-satunya ini, sejak September 2000,
David mulai tertarik pada Islam setelah membaca buku-buku tentang Islam.
Terutama buku biografi Nabi Muhammad karya Martin Lings. Dia juga mulai
belajar salat.
Namun, masalahnya dianggap belum tuntas, karena
David menolak menyatakan keislamannya secara terbuka, seperti yang
diminta Cak Nur. Alasannya, menurut Cak Nur, dia akan menghadapi masalah
berat dalam lingkungan keluarga dan sosialnya yang menganut ketat
ajaran Yahudi. Tapi, David tetap ingin membuktikan keislamannya dalam
amalan nyata, seperti salat.
Tak hanya masalah agama, Cak Nur pun
mengkhawatirkan perbedaan usia keduanya. Nadia berusia 38 tahun,
sedangkan David 10 tahun lebih muda. Akhirnya, pernikahan itu terwujud.
Sebelumnya, Nadia sempat menikah dengan Chandra Hamzah, seorang pengacara, pada November 1994. Chandra Hamzah inilah sekarang yang tersangkut kasus KPK yang sedang ramai dibicarakan. KASUS BIBIT-CHANDRA
Perkawinan tersebut hanya bertahan enam tahun. Kala bercerai, Nadia
masih menyelesaikan studi budayanya di Universitas Chicago, Amerika
Serikat.
Toh, pernikahan kedua Nadia dengan David, teman
kuliahnya itu, masih mengundang sejumlah kontroversi. Walaupun Cak Nur
sudah memberikan penjelasan pada Media Dakwah, menurut Adian
Husaini, status keislaman David tetap diragukan. "David kan baru belajar
Islam, apalagi itu hanya pengakuan Nadia," katanya.
Dalam surat balasan Media Dakwah
untuk Cak Nur, yang dikirim Jumat pekan lalu, antara lain, dipersoalkan
masalah persaksian saat acara perkawinan. Lantaran David tak mau
menyatakan keislamannya secara terbuka, sulit bagi para saksi untuk
mengesahkan perkawinan itu. "Apa susahnya membaca syahadat di depan
mertuanya sendiri," kata Adian, yang juga staf pengajar Universitas Ibnu
Khaldun, Bogor, ini.
Bahkan, menurut dia, sebagian ulama
menganggap pengakuan keislaman seseorang tak cukup hanya dengan membaca
syahadat, juga harus menegaskan penolakannya pada kepercayaan lain.
Bukti lainnya diwujudkan dalam bentuk salat berjamaah. Malah, menurut
dia, Imam Syafi'i menganggap pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya juga
menjadi ukuran penilaian keislaman itu.
Menurut Cak Nur, hakikat
keimanan dan keislaman itu merupakan masalah individu dengan Tuhannya,
dan tak seorang pun boleh memeriksanya. Pendapat ini didukung KH Umar
Shihab, Ketua Majelis Ulama Indonesia. "Yang menilai keimanan dan
keislaman seseorang itu hanya Allah," kata guru besar hukum Islam IAIN
Alauddin, Makassar, ini.
Kalau seorang mualaf tak mau
memublikasikan keislamannya, tidak berarti dia menjadi kafir. Begitu
pula membaca syahadat bukanlah satu keharusan dalam perkawinan. Sebab,
tujuannya hanya untuk konfirmasi keislaman. "Tanpa membaca syahadat pun
perkawinan tetap sah," katanya.
Pendapat mana yang benar?
Tampaknya masih jadi kajian panjang. Yang pasti, urusan keluarga Cak Nur
kini sudah berubah menjadi persoalan publik.
[Kholis Bahtiar Bakri dan Mujib Rahman]
Sumber: tekhnorati.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon